Berawal dari keisengan nonton berita pagi di TV one sambil wara-wiri di tengah pelataran kos, ternyata ada sekilas obrolan tentang sebuah film yang mengangkat kisah cinta terlarang. Film yang diangkat dari dua novel karya Ben Sohib, The Da Peci Code dan Balada Rosid dan Delia ini menceritakan tentang kisah cinta berbeda agama. Namun, uniknya film ini akan dikemas dalam sebuah drama yang dilematis sekaligus kocak serta tanpa tendensi ke agama dan ras tertentu. Hmm... saya jadi tertarik, apalagi film karya Mizan Production ini menyajikan beberapa puisi-puisi WS Rendra (alm). So, saat itu memory saya yang terbatas ini akhirnya berhasil merekam dengan baik, Premier 3 Hati Dua Dunia Satu Cinta - 1 Juli 2010 - Harus nonton!
***
Hari Pertama di Bulan Juli
Di tengah pekerjaan yang tak habis-habis dan di sisa-sisa energi terakhir selepas pulang kerja, akhirnya saya putuskan untuk pergi nonton, walau sempat terbersit di pikiran untuk beristirahat saja di kos. Beruntung, ada salah satu teman kantor yang terprovokasi untuk ikut. Saya yang biasanya nonton sendirian dan selalu nyengir tak terdefinisi ketika sang penjual tiket memberi tiket dua lembar (padahal saya cuma nonton sendiri), akhirnya nonton berdua :D *sama temen cewek tentunya*(okok).
Baiklah, saya mulai saja reviewnya. 3 Hati Dua Dunia Satu Cinta adalah sebuah film yang menceritakan tentang kisah cinta seorang pemuda nyentrik, rada slenge'an namun puitis bernama Rosid (Reza Rahardian) dengan seorang gadis manis berhati lembut, Delia (Laura Basuki).
Film ini diawali dengan adegan bermuatan konflik simbol dan budaya. Rosid yang berambut kribo (seperti sarang tawon, ada juga yang menyebutkan seperti beduk :D) selalu menolak abahnya (Pak Mansyur - Rasyid Karim) yang kekeuh menginginkan sang anak mengikuti budaya agama leluhur mereka untuk mencukur rambut kribonya dan memakai peci. Ada dialog yang cukup mengocok perut saya,
(Rosid menyembunyikan rambut kribo yang dibenci ayahnya, menutup kepalanya dengan semacam kain, menghadap sang Abah yang telah menunggu dengan wajah sangar)
Abah : "Buka!"
(Rosid membuka penutup kepalanya, lalu menyembullah rambut kribo itu :D Rosid pun menunduk perlahan...)
Abah langsung murka : "Astaghfirullah... Kapan Lu mau potong tuh sarang tawon?! Dasar anak Setan!!!" (sangar tapi terdengar kocak)
Rosid menjawab tenang : "Ya... kalo Ocid anak setan, berarti abahnya apaan donk..."
(Si Abah langsung naik darah, dan melempar apa saja ke arah Rosid, yang tentu saja lemparannya selalu meleset) :D
Dan saya beserta seantero bioskop langsung terbahak... (lmao) *saya sesaat tersadar sembari mengedarkan pandangan, eh ternyata banyak juga yang nonton premier film ini* (okok).
Kembali ke cerita film, Rosid menentang pendapat ayahnya tentang simbol "peci" di dalam Islam. Di sini saya melihat sosok Rosid sebagai seorang anak yang cukup berani dalam mengutarakan pendapat, walaupun itu bertentangan dengan pendapat orangtuanya. Yeah, as we know... kebanyakan kita hanya bisa terdiam jika telah berhadapan dengan orangtua. Pesan yang ingin disampaikan dalam simbol "peci" ini cukup tervisualisasi dengan baik. Dan tentu saja tersirat dengan halus karena banyak dibumbui oleh humor-humor yang asyik.
Kisah asmara Rosid dan Delia pun akhirnya tercium oleh kedua orangtuanya. Perbedaan agama dan budaya membuat hubungan mereka menjadi dilematis. Rasa cinta terhadap kekasih bertarung dengan rasa cinta dan sayang terhadap orangtua dan keluarga. Berbagai cara dilakukan oleh kedua orangtua masing-masing untuk memisahkan pasangan kekasih ini, namun tetap saja tidak berhasil.
Lalu, timbullah ide untuk menjodohkan Rosid pada seorang gadis cantik berjilbab bernama Nabila (Arumi Bachsin), putri dari sahabat ayah Rosid. Namun, Nabila yang mengagumi puisi-puisi Rosid pada akhirnya tahu, bahwa hati Rosid telah tertambat pada Delia. Jalan ini pun tak kuasa memisahkan cinta Rosid dan Delia.
Pada akhirnya, di tengah konflik, kepiluan dan kepayahan hati yang didera kedua keluarga (baik keluarga Delia maupun Rosid), kedua orangtua mereka menyerah. Namun tak disangka, di saat itu pula... Rosid dan Delia tersadar, bahwa kisah cinta mereka hanya akan menyakiti keluarga masing-masing, dan memasuki gerbang pernikahan bukanlah hal yang bisa diputuskan begitu saja tanpa pertimbangan mendalam. Dari adegan film, saya mencerna sosok Delia yang akhirnya menyadari, bahwa apalah artinya sebuah kebahagiaan jika hal itu menyakiti orang-orang yang kita kasihi. Rosid pun sependapat, akhirnya mereka berdamai dengan hati masing-masing, dan tetap bersahabat baik.
Di akhir film, ada sebuah epilog, diceritakan bahwa Rosid, Delia, maupun Nabila pada akhirnya menemukan jodoh mereka masing-masing, tentu saja dengan jalan skenario yang berbeda-beda.
Ada sebuah quote yang saya kutip di akhir epilog, yang kurang lebih kalimatnya begini :
"Hidup, nasib, cinta... siapa yang tahu"
Sebuah ending yang manis. ^_^
Beberapa poin buat film ini :
- Banyak pesan-pesan moral yang tersirat namun mungkin tidak bisa dicerna dengan cukup baik. Balutan humor yang khas di antara dilematis cerita menjadikan penonton mengalami banyak perubahan emosi dalam waktu yang relatif singkat. Misalnya, saat ingin menangis karena terharu, sekonyong-konyong langsung ada adegan atau dialog lucu. Makanya di film ini saya hanya bisa berkaca-kaca tanpa sempat meneteskan air mata. :D
- Terlihat bahwa puisi-puisi yang dihadirkan di dalam film ini didedikasikan untuk Almarhum WS Rendra. Salah satu puisi yang cukup menggetarkan adalah puisi yang berjudul "Kangen". I love this poem. Berikut petikannya :
Kau takkan mengerti bagaimana kesepianku
Menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
Kau takkan mengerti segala lukaku
Karena cinta telah sembunyikan pisaunya
Membayangkan wajahmu adalah siksa
Kesepian adalah ketakutan dan kelumpuhan
Engkau telah menjadi racun dalam darahku
Apabila aku dalam rindu dan sepi
Itulah berarti,
Aku tungku tanpa api
~ WS Rendra ~
- Kenekatan Pak Rosid yang terus-menerus terjebak memakai cara khurafat menurut saya tidak lazim, harusnya Pak Rosid bisa mengambil pelajaran dan tidak tertipu berkali-kali. :D
- Jokes yang dihadirkan di film ini cukup kreatif. Sama sekali tak terduga. (applause) Hanya saja, kadang-kadang terasa tidak masuk di akal. Misalnya, sewaktu si Abah mengungkapkan kesedihannya sekaligus menyerahkan sepenuhnya keputusan pada Rosid, di saat itu juga Abah langsung mengutarakan jokes yang berlawanan dengan atmosfer film yang sedang terjadi, "Cid, udah jadi puisi buat Abah?" Sontak saja, kata-kata Abah dengan intonasi yang khas itu membuat seisi bioskop tertawa. (Ceritanya, di film ini Rosid membuatkan sebuah puisi untuk ibunya. Namun si Abah cemburu dan ingin dibuatkan puisi juga oleh Rosid :D)
Sebenarnya ada beberapa adegan yang menurut saya tidak perlu ditampilkan, karena cukup mengganggu atmosfer alur cerita. Hanya saja, saya menangkap hal itu sebagai pelengkap yang ditujukan agar penonton ikut berpikir. ^_^ Yeah, overall, film ini menurut saya sudah cukup berhasil dikemas dengan baik, mengingat tema yang diangkat sangatlah sensitif. ;)